Pemberian Kuasa Secara Lisan

WebAdmin
By -
0

Pemberian Kuasa Secara Lisan




Adapun terkait pemberian kuasa secara perdata, Pasal 1792  KUH PERDATA mengatur ketentuan bahwa pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa.

Patut diperhatikan bahwa pemberian kuasa adalah salah satu jenis persetujuan/perjanjian.

Terkait hal ini, untuk sahnya pemberian kuasa itu juga harus memenuhi syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:

  1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
  2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  3. suatu pokok persoalan tertentu;
  4. suatu sebab yang tidak terlarang.

Selanjutnya, Pasal 1793 KUH Perdata menerangkan ketentuan bahwa kuasa dapat diberikan dan diterima dengan suatu akta umum, dengan suatu surat di bawah tangan bahkan dengan sepucuk surat ataupun dengan lisan. Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa.

Dikarenakan tidak ada ketentuan yang mewajibkan pemberian kuasa untuk dilakukan secara tertulis, maka sekalipun ayah Anda memberikan kuasa lisan, pemberian kuasa tersebut tetap sah.

Tentu dalam hal ini tetap perlu diperhatikan pemenuhan syarat sahnya perjanjian dalam pemberian kuasa. Berdasarkan uraian yang disampaikan, penandatanganan itu telah dilakukan oleh pihak yang berwenang, sepanjang ayah Anda memang memberikan kuasa secara lisan kepada Anda atau saudara kandung Anda untuk itu.

 

Pembuktian Pemberian Kuasa Lisan

Tentunya yang menjadi perhatian adalah bagaimana pembuktian pemberian kuasa lisan yang disampaikan ayah Anda. Dalam perkara perdata, pemberian kuasa lisan masih dapat dibuktikan melalui alat bukti lain.

Adapun alat bukti (selain bukti tertulis) sebagaimana diterangkan dalam ketentuan Pasal 1866 KUH Perdata adalah melalui bukti saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah.

Selain itu, alat bukti yang sah dalam perkara pidana menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah:

  1. keterangan saksi;
  2. keterangan ahli;
  3. surat;
  4. petunjuk;
  5. keterangan terdakwa.

Sebelumnya, keterangan saksi hanya terbatas pada orang yang mendengar sendiri, melihat sendiri, dan mengalami sendiri, sehingga dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana.[1]

Akan tetapi, setelah dikeluarkannya Putusan MK No. 65/PUU-VIII/2010 (hal. 92), pengertian saksi telah diperluas menjadi orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.

Untuk membuktikan keabsahan pemberian kuasa dan/atau membuktikan tidak terpenuhinya unsur perbuatan tindak pidana pemalsuan tanda tangan, Anda dapat menggunakan alat bukti lain selain alat bukti tertulis, seperti keterangan saksi atau alat bukti lain yang sah bergantung pada perkara yang sedang Anda hadapi (perdata/pidana).

Patut dipahami juga bahwa Pasal 1905 KUH Perdata menegaskan bahwa keterangan seorang saksi saja tanpa alat pembuktian lain, dalam pengadilan tidak boleh dipercaya. Selain itu, Pasal 185 ayat (2) KUHAP juga turut menyatakan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.

Dengan kata lain, keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk melakukan pembuktian, harus ada keterangan dari beberapa orang saksi dan/atau alat bukti lain untuk menjadi alat bukti yang sah.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)